Telusuri sejarah Sulawesi Tenggara yang kaya. Pahami Asal Usul Sulawesi Tenggara dari kisah Kesultanan Buton, etimologi ‘Pulau Besi’ (Sulawesi), dan kronologi penting pembentukan provinsi otonom pada tahun 1964.

Mengurai Kisah Maritim dan Emas Hitam: Jejak Megah Sejarah Sulawesi Tenggara

Sejarah Sulawesi Tenggara adalah narasi panjang tentang kepulauan yang perkasa, peradaban maritim yang tangguh, dan perjuangan panjang menuju identitas otonom di tengah gejolak Nusantara. Wilayah yang kini dikenal sebagai Sultra, dengan ibu kotanya Kendari, merupakan semenanjung bagian tenggara Pulau Sulawesi yang dikelilingi oleh gugusan pulau-pulau besar, termasuk Buton dan Muna.

Untuk menelusuri Asal Usul Sulawesi Tenggara secara komprehensif, kita tidak bisa hanya berfokus pada tahun pembentukannya. Kita harus menyelami tiga lapisan sejarah: asal usul nama pulau, kekuatan kerajaan lokal yang mendominasi, dan proses politik yang akhirnya melahirkan provinsi ini pada tahun 1964.

Lapisan Pertama: Asal Usul Nama Pulau dan Identitas Geografis

Nama Sulawesi Tenggara secara harfiah merupakan pembagian arah mata angin. Namun, penamaan Sulawesi sendiri membawa warisan historis yang erat kaitannya dengan kekayaan alam wilayah ini.

Sula Mesi: Pulau Besi yang Melegenda

Pulau Sulawesi, yang dijuluki Celebes oleh bangsa Eropa, diyakini memiliki nama yang berasal dari bahasa lokal, yaitu gabungan kata Sula yang berarti nusa atau pulau, dan Besi (atau Mesi) yang merujuk pada logam atau besi. Interpretasi ini menunjuk pada “Pulau Besi”.

Keterkaitan ini bukanlah tanpa alasan. Wilayah Sulawesi, termasuk bagian tenggara (yang kini dikenal sebagai Sultra), telah lama dikenal sebagai daerah penghasil bijih besi dan nikel, sumber daya yang sangat penting dalam perdagangan kuno. Nama yang diberikan oleh masyarakat lokal ini berfungsi sebagai penanda geografis sekaligus pengakuan terhadap kekayaan mineral yang dimiliki pulau tersebut.

Celebes: Cap Dagang Bangsa Portugis

Para pelaut Portugis yang singgah di Nusantara sekitar abad ke-15 dan ke-16 Masehi mengalami kesulitan melafalkan nama-nama lokal. Mereka akhirnya mencatatkan pulau berbentuk unik ini dengan nama Celebes. Nama ini populer dalam peta-peta dunia selama masa kolonial dan menjadi sinonim internasional untuk Sulawesi, termasuk wilayah tenggaranya. Perubahan kembali menjadi Sulawesi pasca-kemerdekaan merupakan upaya nasional untuk mengembalikan identitas budaya dan menghapus jejak kolonial.

Lapisan Kedua: Jantung Peradaban Maritim (Pra-1964)

Jantung sejarah Sulawesi Tenggara terletak pada dua kekuatan politik maritim besar yang telah eksis selama berabad-abad: Kesultanan Buton dan Kerajaan Muna.

Buton: Negeri Seribu Benteng

Kesultanan Buton, yang berpusat di Baubau, adalah salah satu kekuatan terbesar di wilayah tenggara Sulawesi. Kesultanan ini dikenal dunia karena sistem pertahanannya yang luar biasa, yaitu Benteng Keraton Buton (Wolio), yang diklaim sebagai benteng terluas di dunia yang dibangun secara tradisional.

Buton memiliki riwayat panjang dalam menjaga kedaulatan, bahkan tercatat dalam Sumpah Palapa Patih Gajah Mada (Majapahit). Status Buton yang berubah dari Kerajaan (sejak 1332 M) menjadi Kesultanan setelah masuknya Islam, menempatkannya sebagai pusat kebudayaan dan perdagangan yang strategis, menjalin hubungan kompleks—kadang bersekutu, kadang berkonflik—dengan kekuasaan lain, termasuk VOC Belanda dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Kerajaan Muna: Kekuatan di Daratan

Di samping Buton, terdapat Kerajaan Muna yang juga memiliki peran vital. Muna dan Buton memiliki hubungan yang erat namun dinamis, ditandai dengan persahabatan, ikatan persaudaraan, hingga konflik berdarah yang sering dimanfaatkan oleh Belanda untuk menerapkan politik pecah belah. Kedua kerajaan ini secara keseluruhan mewakili kekuatan politik yang menaungi hampir seluruh wilayah kepulauan dan daratan tenggara Sulawesi sebelum era kemerdekaan.

Pada masa kolonial, wilayah tenggara Sulawesi ini dikelola oleh Belanda dalam pembagian administratif yang dikenal sebagai Onderafdeling Boeton Laiwoi dengan pusat pemerintahan di Baubau. Ini menjadi cikal bakal administratif wilayah Asal Usul Sulawesi Tenggara sebelum status provinsi.

Lapisan Ketiga: Kronologi Menuju Otonomi Penuh (1950–1964)

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, wilayah tenggara Sulawesi harus melalui proses politik yang panjang untuk mendapatkan status provinsi otonomnya sendiri.

Bagian dari Sulawesi Selatan-Tenggara

Pada awal kemerdekaan, seluruh wilayah Sulawesi merupakan satu provinsi yang berpusat di Makassar. Seiring berjalannya waktu, wilayah ini dibagi menjadi dua provinsi besar berdasarkan Undang-Undang No. 47 Prp Tahun 1960: Sulawesi Utara-Tengah dan Sulawesi Selatan-Tenggara.

Meskipun sudah terpisah, wilayah tenggara (yang saat itu masih berupa kabupaten) masih berada dalam kendali administrasi Makassar. Hal ini menimbulkan desakan kuat dari tokoh-tokoh lokal di wilayah tenggara yang menginginkan pemerintahan yang lebih mandiri dan terpisah. Mereka berpendapat bahwa keterbatasan komunikasi dan perbedaan karakteristik geografis dan budaya menghambat pembangunan.

Penetapan Provinsi Sulawesi Tenggara 1964

Puncak perjuangan otonomi terwujud melalui keputusan politik pada tahun 1964. Pada saat itu, daerah Sulawesi dibagi menjadi empat provinsi otonom.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 1964 juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964, Sulawesi Tenggara resmi ditetapkan sebagai Daerah Otonom Tingkat I atau provinsi yang berdiri sendiri, terpisah dari Provinsi Sulawesi Selatan.

  • Hari Jadi: Tanggal 27 April 1964 ditetapkan sebagai hari lahirnya Provinsi Sulawesi Tenggara.
  • Ibu Kota: Kendari, yang awalnya merupakan pusat administratif yang lebih kecil, ditetapkan sebagai ibu kota provinsi yang baru, menggantikan Baubau sebagai pusat pemerintahan kolonial sebelumnya.
  • Wilayah Awal: Provinsi ini pada awal pembentukannya terdiri dari empat kabupaten utama: Kendari, Kolaka, Buton, dan Muna.

Sejak saat itu, Sulawesi Tenggara, yang kini dijuluki sebagai Bumi Anoa dan Wonua Sorume (Bumi Anggrek), terus berkembang, menjadikan warisan budaya Buton dan Muna, serta kekayaan alamnya, sebagai modal utama dalam pembangunan nasional.