Telusuri sejarah Banda Aceh yang legendaris, mulai dari nama aslinya Bandar Aceh Darussalam di masa kesultanan, penamaan kolonial Koetaradja, hingga resmi menjadi Banda Aceh pada tahun 1963. Pahami Asal Usul Banda Aceh sebagai pusat peradaban Islam dan gerbang maritim Asia Tenggara.
Menguak Sejarah Nama Banda Aceh: Jejak Peradaban Islam dari Bandar Darussalam hingga Serambi Mekkah
Sejarah Banda Aceh adalah cermin dari kejayaan maritim dan ketangguhan sebuah peradaban Islam di ujung barat Nusantara. Wilayah yang kini dikenal sebagai ibu kota Provinsi Aceh ini telah melalui metamorfosis nama yang mencerminkan pasang surut kekuasaan, dari pelabuhan kosmopolitan Kesultanan Aceh Darussalam hingga menjadi kota yang berjuang melawan kolonialisme dan bencana alam.
Memahami Asal Usul Banda Aceh tidak hanya sebatas mengetahui pergantian label, tetapi juga menggali makna filosofis dari setiap penamaan yang melekat pada kota berjuluk “Serambi Mekkah” ini.
Babak Awal: Bandar Aceh Darussalam (Abad ke-14 hingga 19)
Jauh sebelum kolonialisme datang, wilayah ini adalah pusat kekuatan politik dan ekonomi regional.
Bandar Aceh: Pelabuhan dan Pusat Kerajaan
Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, ibu kota kerajaan yang berdiri di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha (seperti Lamuri) dikenal dengan nama yang lebih panjang dan kaya makna, yaitu Bandar Aceh Darussalam.
Nama ini dapat diurai menjadi tiga komponen utama yang menggambarkan identitas kota:
- Bandar: Dalam bahasa Persia atau Melayu lama, bandar memiliki arti pelabuhan atau kota pelabuhan. Ini jelas merujuk pada peran strategis kota sebagai gerbang maritim utama di Selat Malaka yang menghubungkan Timur Tengah, India, dan Eropa dengan Nusantara.
- Aceh: Asal-usul kata Aceh sendiri memiliki banyak versi, salah satunya dari kata Aca dalam bahasa Keling (India) yang berarti indah, atau Achera Vaata Bho (alangkah indahnya) dalam bahasa Sanskerta.
- Darussalam: Berasal dari bahasa Arab, Dar as-Salam (دار السلام) yang bermakna “negeri yang damai” atau “negeri yang sejahtera”.
Secara keseluruhan, Bandar Aceh Darussalam berarti “Pelabuhan Aceh yang Damai dan Sejahtera”. Nama ini terukir dalam catatan sejarah, bahkan ditemukan pada mata uang (dirham) yang digunakan pada masa kejayaan Kesultanan, terutama di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607–1636), ketika kota ini menjadi pusat peradaban Islam terbesar di Asia Tenggara.
Pada masa ini, kompleks istana dan pusat pemerintahan sering disebut Darud Dunya (Taman Dunia), yang terletak di wilayah Banda Aceh.
Babak Kolonial: Trauma Penamaan Koetaradja (1874–1963)
Titik balik yang mengubah sejarah Banda Aceh terjadi pada masa Perang Aceh, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer.
Koetaradja: Simbol Penaklukan Belanda
Pada tahun 1873, Belanda mulai menyerang Kesultanan Aceh, tetapi baru pada 24 Januari 1874, mereka berhasil menduduki istana (keraton) yang sudah dikosongkan.
Jenderal Jan van Swieten, panglima perang Belanda, dengan tujuan politis yang sangat jelas—yaitu menunjukkan kepada Batavia (Jakarta) dan Kerajaan Belanda di Eropa bahwa Aceh telah takluk—segera mengganti nama ibu kota Kesultanan tersebut menjadi Koetaradja (ejaan lama dari Kota Raja).
Kata Koetaradja (Kota Raja) merujuk pada pusat pemerintahan raja (sultan). Penamaan ini merupakan upaya simbolis Belanda untuk menghapus identitas Islam dan kedaulatan Kesultanan Aceh, menggantinya dengan penanda kekuasaan kolonial. Nama Koetaradja ini digunakan secara resmi oleh pemerintah kolonial Belanda selama hampir sembilan dekade.
Lahirnya Banda Aceh sebagai Nama Kota
Penamaan Koetaradja hanya bertahan hingga Indonesia merdeka. Setelah pengakuan kedaulatan, muncul dorongan kuat dari tokoh-tokoh Aceh untuk mengembalikan nama yang sesuai dengan akar sejarah kerajaan.
Pada tahun 1963, Gubernur Aceh saat itu, Prof. A. Hasjmy, mengajukan saran agar nama Koetaradja yang berbau kolonial segera diganti. Sarannya didasarkan pada bukti sejarah bahwa nama Banda Aceh (atau Bandar Aceh) adalah nama yang dipakai sejak masa Kesultanan.
Saran tersebut diterima, dan pada 28 Desember 1962 (diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.Des.52/I/43-43 tanggal 9 Mei 1963), nama Koetaradja secara resmi dihapus dan diganti menjadi Banda Aceh.
Babak Modern: Banda Aceh dan Status Otonomi Khusus
Setelah kembalinya nama historis, Banda Aceh terus menguatkan posisinya sebagai ibu kota provinsi yang kaya sejarah dan spiritual.
Makna Banda Aceh di Era Republik
Dalam konteks penamaan modern Banda Aceh, kata Banda di sini memiliki dua kemungkinan tafsir yang saling melengkapi:
- Pelabuhan/Kota: Tetap merujuk pada peran historisnya sebagai kota penting yang berfungsi sebagai gerbang.
- Bandar: Versi yang lebih ringkas dari Bandar Aceh Darussalam, namun tetap membawa nuansa kesultanan.
Dengan statusnya sebagai ibu kota Provinsi Aceh, Banda Aceh menjadi pusat administrasi, ekonomi, dan budaya di wilayah paling barat Indonesia. Selain itu, kota ini juga kental dengan julukan “Serambi Mekkah” (gerbang menuju Mekkah), menegaskan peranannya sebagai pusat penyebaran dan pembelajaran agama Islam di Nusantara.
Hari Jadi Kota Banda Aceh
Berdasarkan penelitian tim ahli dan seminar pada tahun 1988, disepakati bahwa hari jadi Kota Banda Aceh ditetapkan pada tanggal 22 April 1205 Masehi. Tanggal ini didasarkan pada momen resmi pemindahan pusat pemerintahan Kesultanan Lamuri ke lokasi yang kini menjadi Banda Aceh (saat itu bernama Banda Darussalam) pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah I. Keputusan ini memperkuat akar historis kota yang sudah berusia lebih dari 800 tahun.
Sejarah nama Banda Aceh adalah warisan yang harus dijaga, sebuah simbol ketahanan budaya dan spiritualitas yang bertahan melintasi era kerajaan, kolonialisme, hingga menjadi kota modern yang tangguh.