Telusuri sejarah Palembang, kota tertua di Indonesia, yang berawal dari pendirian Wanua Sriwijaya (682 M). Pahami Asal Usul Palembang yang secara etimologis berarti “tempat yang digenangi air” sesuai kondisi geografisnya, serta perkembangannya hingga menjadi Kesultanan Palembang Darussalam.
Menguak Jejak Peradaban: Sejarah Nama Palembang, Kota Air yang Pernah Menjadi Jantung Sriwijaya
Sejarah Palembang adalah riwayat sebuah kota yang usianya tercatat jelas, menjadikannya salah satu kota tertua yang masih eksis di Indonesia. Berdasarkan bukti epigrafi, Palembang telah berdiri sejak abad ke-7, masa kejayaan kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara, Sriwijaya.
Kisah Asal Usul Palembang tidak hanya merujuk pada kronologi politik, tetapi juga terkait erat dengan kondisi geografisnya yang unik—sebuah dataran rendah yang kaya akan sungai dan rawa, menjadikannya kota yang secara harfiah “dikelilingi oleh air.”
Untuk memahami nama Palembang, kita perlu merujuk pada tiga aspek utama: bukti tertulis prasasti, interpretasi etimologis nama, dan julukan-julukan yang melekat padanya sepanjang sejarah.
Babak Awal: Wanua Sriwijaya dan Penanda Kota Tertua
Latar belakang Palembang sebagai kota tertua di Indonesia dibuktikan oleh sebuah penemuan arkeologi yang sangat penting.
Prasasti Kedukan Bukit dan Tanggal Lahir Kota
Bukti paling kredibel mengenai eksistensi awal kota Palembang terdapat pada Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti berangka tahun 604 Saka atau 16 Juni 682 Masehi ini ditemukan di kaki Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, dan ditulis menggunakan aksara Pallawa serta bahasa Melayu Kuno.
Isi prasasti tersebut menceritakan tentang Dapunta Hyang (Penguasa Sriwijaya) yang mendirikan sebuah Wanua (permukiman atau kota) di daerah yang kini dikenal sebagai Palembang. Tanggal 16 Juni 682 Masehi inilah yang secara resmi ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun Kota Palembang, menjadikannya kota yang berumur lebih dari 13 abad.
Pada masa Sriwijaya, kota ini berfungsi sebagai port-polity (pusat kekuasaan maritim yang tumbuh dari pelabuhan) dan pusat ajaran Buddha, mengendalikan jalur perdagangan rempah-rempah yang vital di Selat Malaka.
Etimologi Palembang: Tempat yang Digenangi Air
Secara linguistik dan geografis, nama Palembang diperkirakan merupakan deskripsi jujur dari kondisi topografi wilayah tersebut.
Makna Pa-Lembang dalam Bahasa Melayu Kuno
Para ahli sejarah dan linguistik sepakat bahwa nama Palembang berasal dari dua suku kata yang berakar pada bahasa Melayu (terkadang disebut Melayu Kuno atau Melayu-Palembang) atau bahkan Jawa Kuno, dengan beberapa interpretasi yang saling melengkapi:
- Pa- / Pe-: Awalan ini dalam bahasa Melayu berfungsi sebagai kata tunjuk yang berarti tempat atau keadaan.
- Lembang / Lembeng: Kata ini memiliki beberapa arti tergantung versi bahasanya:
- Genangan Air atau Tanah Rendah: Dalam bahasa Melayu Palembang, lembang atau lembeng sering diartikan sebagai genangan air atau tanah yang rendah (rawa).
- Melintang: Ada pula versi yang menyebut lembang berarti melintang, yang menggambarkan posisi kota yang membentang di sepanjang aliran Sungai Musi.
- Mencuci Emas: Interpretasi lain mengaitkannya dengan kata limbang atau menglimbang, yang berarti mencuci atau mengayak (terutama emas). Versi ini didukung oleh temuan artefak emas di Bukit Siguntang, menunjukkan Palembang mungkin juga dikenal sebagai “tempat mencuci emas” di masa lalu.
Dengan menggabungkan suku kata tersebut, makna yang paling umum dan kuat dari Asal Usul Palembang adalah “suatu tempat yang digenangi oleh air” atau “tanah yang senantiasa digenangi air.” Penamaan ini sangat sesuai dengan kondisi Palembang yang secara historis memiliki banyak rawa dan anak sungai, di mana kehidupan dan rumah-rumah didirikan di atas air (rumah rakit) atau rumah panggung.
Palembang di Catatan Bangsa Asing
Kondisi Palembang sebagai kota air juga tercatat oleh para pedagang dan penjelajah asing. Dalam catatan Tiongkok Kuno, Palembang disebut dengan nama-nama seperti Po-lin-fong atau Ku-kang (yang berarti “Pelabuhan Lama”).
Babak Modern: Kesultanan dan Julukan Bumi Sriwijaya
Setelah keruntuhan Sriwijaya (sekitar abad ke-13 M), wilayah ini mengalami periode transisi di bawah pengaruh Majapahit dan kemudian muncul sebagai kekuatan Islam lokal.
Kesultanan Palembang Darussalam (1659–1823)
Pada tahun 1659, Palembang memasuki era keemasan Islam dengan didirikannya Kesultanan Palembang Darussalam oleh Sri Susuhunan Abdurrahman. Gelar “Darussalam” (tempat yang damai) mencerminkan identitasnya sebagai pusat kebudayaan dan penyebaran Islam yang berpengaruh di Sumatera bagian selatan.
Kesultanan ini dikenal memiliki kekayaan sumber daya alam, khususnya timah dari Bangka Belitung yang berada di bawah kekuasaannya, dan berhasil bertahan selama hampir dua abad sebelum akhirnya dihapuskan oleh Belanda pada tahun 1823.
Julukan Bumi Sriwijaya
Meskipun kekuasaan Sriwijaya telah lama tenggelam, warisan peradabannya tetap melekat. Palembang modern sering dijuluki sebagai “Bumi Sriwijaya” untuk menghormati masa keemasannya sebagai pusat kerajaan bahari terbesar. Julukan ini tidak hanya digunakan sebagai identitas budaya, tetapi juga mencerminkan kebanggaan atas peran Palembang yang pernah mengendalikan sebagian besar Nusantara dan Semenanjung Malaya.
Hingga kini, sejarah Palembang terus hidup melalui tradisi, kuliner, dan arsitektur rumah panggung, yang semuanya merupakan adaptasi cerdas nenek moyang terhadap kondisi “kota yang digenangi air” sejak zaman Sriwijaya.
